ASUMSI RICUHNYA (R)UU KPK




Tanggal 17 september pagi kemarin seorang teman saya mengatakan, dirinya dikirimkan surat elektronik mengenai petisi penolakan RUU KPK. Dan kabar yang didapat kawan saya ini pula bahwa RUU KPK tersebut akan segera di sahkan malam itu juga. Saya pribadi cukup kaget mendengarnya, walaupun tahu sejumlah anggota DPR telah menyatakan bahwa RUU KPK ini akan di sahkan sebelum periode masa jabatan mereka berakhir atau paling tidak selambatnya pada tanggal 24 september.

Kekagetan saya tetap muncul karena cepatnya semua proses ini. Apalagi setelah siang datang  saya mendapat kabar RUU KPK sudah disahkan. Oke, saya setelah itu lebih kaget dari sebelumnya. Saya kemudian menghitung-hitung runtutan hari berita ini mulai heboh. Saya jabarkan dulu secara singkat.


5 september 2019, dalam rapat paripurna setidaknya mayoritas fraksi dalam DPR menyetujui RUU KPK menjadi RUU inisiatif DPR. Rapat yang dikabarkan dihadiri oleh 70 orang ini, selain membahas mengenai RUU KPK yang sudang lama mandek sejak tahun 2017 juga membahas mengenai RUU MD3. Selanjutnya RUU KPK inisiatif DPR tersebut dikirimkan ke presiden. 

11 september 2019, presiden mengeluarkan surpres (surat presiden) bernomor R-42/Pres/09/2019 terkait RUU yang diajukan DPR. Yang kemudian diberikan lagi ke DPR untuk diproses lebih lanjut.

13 september 2019 (pagi), presiden mengadakan jumpa pers di istana Kepresidenan. Beliau menegaskan, menyetujui RUU KPK yang menjadi inisisatif DPR tersebut. Bersamaan dengan itu presiden menyatakan juga telah menugaskan menteri hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia) serta menteri PAN-RB (Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia) untuk membahasnya dengan DPR. Selain itu presiden juga memberikan catatan mengenai 4 poin yang ditolak dalam RUU tersebut. Seperti penolakan terhadap izin dari eksternal (pengadilan) tentang penyadapan, tidak setujunya penyelidik dan penyidik hanya berasal dari pihak kejaksaan dan kepolisian saja, penuntutan yang tidak perlu berkordinasi dengan kejaksaan, dan pengelolaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dikeluarkan KPK diberikan kepada kementrian atau lembaga lain. 

13 september 2019 (malam), tiga pimpinan KPK yaitu, Agus Raharjo, Laode M Syarif dan Saut Situmorang ditemani juru bicara bicara KPK, Febri Diansyah, menggelar jumpa pers di depan gedung KPK. Dalam pernyataan yang dibacakan oleh Agus Raharjo, garis besarnya menyatakan bahwa KPK prihatin terhadap RUU KPK yang tidak diketahui draft aslinya oleh mereka. Agus Raharjo kemudian membacakan bahwa “...  maka kami pimpinan yang merupakan penanggung jawab di KPK dengan berat hati, pada hari ini jumat 13 september, kami menyerahkan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada bapak Presiden Republik Indonesia...”. (Dalam sejarah pendirian KPK, hal seperti ini baru pertama kali terjadi).


17 September 2019, DPR dan pemerintah di gedung DPR melakukan pengesahan RUU KPK. Atau sekarang bisa disebut UU KPK. Pemerintah yang diwakili oleh menteri hukum dan HAM, Yasonna Laoly, dan mayoritas fraksi di DPR bersama-sama dalam rapat paripurna hari itu menyatakan sah RUU KPK menjadi UU KPK. Tiga fraksi setuju dengan catatan yaitu fraksi Gerindra, PKS, dan Demokrat. Dengan dua catatan yang berbeda. 

Kurang dari dua minggu semua proses ini selesai. Boleh saja poin-poin dalam UU KPK dipersoalkan. Tapi proses perubahan RUU menjadi UU yang memakan waktu kurang dari 2 minggu menjadi prestasi dalam sejarah untuk DPR periode ini sendiri. Dengan pengalaman ini DPR bisa menyelesaikan sisa RUU yang masih belum selesai menjadi UU bukan?. Mumpung sebelum masa jabatan DPR yang akan berakhir di 2019 ini. Saya menantikan hal tersebut. Termasuk RUU lain yang sekiranya juga mendesak untuk disahkan. Kita bisa menunggu hal ini bukan?.

Jika boleh saya yang hanya mempunyai sekelebat pengalaman dalam hukum terlebih lagi politik dapat berasumsi sebagai masyarakat yang peduli dan mengikuti berita ini. Asumsi saya, mungki saja DPR dan pemerintah mengganggap kasus korupsi di Indonesia sudah sangat terlalu mendesak. Dan KPK sebagai lembaga di nilai kurang didukung dalam undang-undang untuk bisa maksimal menjerat para koruptor yang semakin memiskinkan rakyat miskin. Pemberantasan korupsi harus selalu didukung bukan?.

Asumsi saya, mungkin sudah sangat jelas bagi presiden untuk dengan cepat mempertimbangkan RUU inisiatif DPR ini. Sehingga tidak perlu lagi membuang waktu hingga 60 hari untuk mengeluarkan surpres. 60 hari itu kan maksimalnya yang dituangkan dalam hukum, boleh bukan kurang dari 60 hari?


Asumsi saya, bisa saja UU KPK yang sebelumnya dinilai belum sempurna sehingga dibutuhkan revisinya. Supaya KPK bisa semakin kuat posisinya menjaring para si pemakan uang rakyat. Harus begitu bukan?. Asumsi saya, mungkin UU KPK yang sebelumnya yang sudah berumur 17 tahun dianggap sudah terlalu tua. Sama seperti manusia di umur 17 tahun yang bisa dianggap dewasa dan menerima Kartu Tanda Penduduk (KTP). Bolehkan KPK berubah?.

Asumsi saya, bisa saja dirasa tidak perlu membebankan KPK dengan draft asli RUU ini. KPK sudah sibuk dengan OTT para pejabat daerah dan para dewan di luar sana. Boleh seperti ini bukan?. Asumsi saya, mungkin sudah cukupnya pendapat dan masukan dari masyarakat, pakar dan akademsi yang menyumbangkan sudut pandangnya. Tidak perlu khawatir, sudah didapat semua pandanganya bukan?.

Banyak sekali asumsi saya. Asumsi yang paling tidak sampai selama ini tidak terjawab. Asumsi yang mungkin pembaca tidak setuju atau setuju?. Asumsi yang muncul, mungkin dari sedikitnya informasi yang tersedia untuk masyarakat. Asumsi yang mungkin berasal dari keprihatinan. Asumsi yang berasal dari pengawasan mata rakyat biasa terhadap negeri ini. Ya namanya juga asumsi. Boleh bukan berasumsi?.

Rabu, 18 September 2019



Comments

Popular posts from this blog

VIRUS CORONA, KETAKUTAN DAN STATUS SOSIAL

CARA ORANG GILA MENGGUNAKAN KEMAJUAN DUNIA DIGITAL EKONOMI

RAMUAN MENGHADAPI PANDEMI