UNTUK APA PEMBATASAN INTERNET DI JAKARTA DAN PAPUA ?



Selasa, 21 Mei 2019 dini hari, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan perolehan suara pemilihan umum pasangan calon presiden dan wakil presiden 2019, penetapan yang dilakukan sehari lebih cepat dari batas maksimal yang telah di tetapkan oleh Undang-Undang (UU) yaitu 35 hari. Demo yang diharapkan damai berakhir ricuh. Tanggal 21 itu, ketika langit Jakarta semakin gelap, sejumlah titik vital di ibu kota tidak lagi kondusif. Sejumlah oknum tak bertanggung jawab menggiring para demonstran untuk bersikap lebih agresif. Kerusuhan terjadi hingga hari berikutnya. Sejumlah fasilitas publik di rusak, kantor-kantor meliburkan karyawanya, sekolah di liburkan, sanak saudara dihimbau untuk tidak keluar rumah bila tidak diperlukan apalagi ke tempat kerusuhan terjadi. Tidak berhenti sampai di sana, ratusan orang menderita luka dan 9 orang meninggal. Jakarta chaos.

Kamis, 15 Agustus 2019 pagi hari sekelompok mahasiswa asal Papua di kota Malang terlibat adu mulut dengan sekelompok warga Malang, dan berakhir dengan perselisihan fisik. Jumat, 16 Agustus 2019 sejumlah aparat berseragam dan ormas datang mengepung asrama yang di huni mahasiswa asal Papua di Surabaya. Kejadian tersebut diduga dikarenakan adanya bendera merah putih yang ditemukan di selokan depan asrama, mahasiswa-mahasiswa asal Papua menjadi tertuduh. Teriakan keras di lontarkan oleh kelompok pengepung. Pagar yang menjadi penghalang kelompok pengepung tesebut di rusak. Ancaman, hinaan bahkan sebuah kata bernada rasisme terlontar.

Senin, 19 Agustus 2019 pagi, dua hari setelah perayaan kemerdekaan Indonesia, stasiun tv ramai menayangkan kerusuhan di tanah Papua. Sejumlah jalan di blokade dan pembakaran di lakukan, mengakibatkan arus lalu lintas kota terhambat. Aksi masa yang berawal di Manokwari berembet hinga Sorong. Kerusuhan yang terjadi di tanah Papua ini diakibatkan oleh reaksi masa yang tidak terima dengan perlakuan yang terjadi oleh mahasiswa asal Papua di Malang dan Surabaya sebelumya. Kejadian ini mengakibatkan bandara lumpuh dan sampai saat ini 3 orang korban telah meninggal, 1 orang dari TNI dan 2 lainya berasal dari warga sipil. Papua chaos.

Kerusuhan yang terjadi di Jakarta dan Papua punya latar belakang alasan yang berbeda. Namun di kedua kejadian ini, pemerintah melaui Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Rudiantara, mengumkan sebuah keputusan “baru” yaitu memberlakukan pembatasan akses internet. Pemerintah beralasan pembatasan akses ini dilakukan untuk menghentikan hoax yang beredar di dunia maya. Hoax-hoax inilah yang dituding pemerintah sebagai sumbu yang memperpanas kerusuhan yang terjadi. Setidaknya yang terjadi di Jakarta pada Mei lalu, warganya terhambat dalam mengakses media sosial dan pesan singkat. Dan di Papua, pemerintah memutuskan untuk membatasi data.

Keputusan “baru” pemerintah ini menimbulkan pro kontra. Di jakarta, pembatasan akses internet yang di lakukan selama 3 hari pada Mei lalu pastinya menimbulkan pembicaraan baru. Masyarakat Jakarta yang keseharian aktivitasnya selalu terpaku pada telepon gengam merasa pembatasan itu menghambat aktivitas mereka. Berbeda dengan usaha-usaha yang memang mengandalkan internet sebagai basis utamanya, kerugian pasti terjadi dalam aktivitas usaha mereka. Masyarakat saat ini yang dengan mudahnya berbagi pesan, foto hingga video hanya dengan satu “klik” terbiasa dengan aktivitas dunia maya. Ketergantungan pun terjadi. Tidak bisa dipungkiri, sekarang ini kemajuan teknologi dan cepatnya arus hidup mendorong masyarakat untuk lebih pintar mencari cara dan informasi. Semua kebutuhan bisa hanya ada dalam satu genggaman, bahkan kebutuhan sosial. Biasanya ketika ada sebuah kejadian yang menjadi tajuk utama media tv, yang berulang kali ditayangkan bahkan hingga berlangsung seharian, masyarakat akan lebih giat mencari informasi tersebut. Bahkan orang-orang yang tidak dengan “sengaja” mencari atau bahkan kejadian tersebut “tidak mempengaruhi” mereka tetap akan terus diberikan informasi tersebut. Ibaratnya bagaikan seorang pelanggan di rumah makan sederhana ketika baru masuk dan duduk saja pelayan sudah menghidangkan semua jenis hidangan dalam rumah makan mereka. Semua hidangan di sajikan. Bedanya dengan internet adalah tentu bukan hidangan yang disajikan melainkan informasi. Namun informasi yang disajikan ini berasal dari semua orang yang merasa “kompeten”.

Kebutuhan akan informasi ini mendorong masyarakat merajalela menikmati sajian yang tersedia, tanpa perlu bersusah payah mencari informasi tandingan. Berusaha mengkonfrontir informasi yang di dapat. Hanya dengan embel-embel “invo valid” , “berasal dari saudara/teman saya” dan alasan lainya, kebanyakan orang mudah untuk termakan informasi yang beredar. Dalam peristiwa terorisme Thamrin yang terjadi di Jakarta beberapa tahun lalu saja informasi sudah mulai berdentingan di dunia maya. Informasi tentang pelaku yang kabur dan akan adanya peristiwa terorisme lain yang terjadi membuat masyarakat takut untuk keluar. Atau kejadian-kejadian lainya yang sekarang ini informasi dalam bentuk apapun mudah untuk di buat oleh individu. Informasi yang tidak berasal dari pihak “kompeten” ini bisa menimbulkan kesalahan informasi yang berujung keresahan bahkan tindakan keras lain.

Mungkin inilah yang ingin dilakukan oleh pemerintah. Berusaha untuk membatasi sajian informasi yang berasal dari pihak yang tidak “kompeten” atau sajian informasi lain yang sengaja di buat untuk memperkeruh suasana. Masyarakat di dorong untuk menerima informasi dari sumber yang terbatas. Tak bisa lagi mencari update nya sebuah kejadian selain melalui media tv dan media cetak. Karena media tv dan media cetak punya pagarnya sendiri untuk memberitakan sebuah kejadian. Sedangkan yang menjadi pagar bagi pengguna internet tidak lain adalah pengguna itu sendiri.

Hal positif yang bisa di dapat dari pembatasan ini memang bisa dirasakan secara pribadi dengan cepat. Dampak dari pembatasan akses internet yang terjadi di dua kota ini tidak hanya membuat pribadi masyarakat untuk tak terlalu termakan isu-isu yang berseliweran di jagat maya tapi juga memudahkan pemerintah melalui aparat untuk menangani peristiwa yang sudah terlanjur memanas untuk dingin dengan cepat. Suasan pun di rasa dapat dengan efisein dikendalikan.

Namun hal yang berguna yang sebenarnya ingin di capai dalam pembatasan ini pula, dalam waktu yang sama memberikan banyak kerugian yang terjadi. Seperti yang dijelaskan di atas, kebutuhan akan sebuah cara hidup di masyarakat urban saat ini tidak hanya pada hal seputar sandang dan pangan tapi juga sebuah informasi. Masyarakat saat ini tidak lagi bisa menunggu informasi yang seputar sumber terbatas. Bahkan bisnis media pun menyadari hal ini. Media berita telah sadar bahwa tidak hanya ketepatan informasi yang dibutuhkan tapi juga kecepatan.

Pembatasan atas akses internet ini adalah sebuah pisau bermata dua. Pengendalian situasi yang terlanjur memanas memang di dapatkan tapi kemudian menimbulkan keresahan lain. Pembatasan ini mengakibatkan individu kehilangan hak nya untuk menerima, memberikan dan mengungkapkan sudut pandangnya. Penerimaan informasi yang diberikan terbatas hanya pada sumber-sumber tertentu dan masyarakat terhambat membaca situasi ekonomi, politik dan sosial di negaranya. Tak hanya demikian, sejumlah hak untuk mengungkapkan pendapat juga menjadi terhambat. Akses-akses yang selama ini digunakan sebagai pilihan lain dalam berpendapat juga terhambat. Jauh lebih pribadi lagi masyarakat terhambat mengunakan akses tersebut untuk memberikan kabar atau mencari kabar tentang sanak saudara yang berada di kota tersebut. Celakanya hal ini malah membuat individu dalam bentuk kelompok lebih resah lagi.

Keputusan pemerintah ini pula dapat menjadi preseden yang bisa disalahgunakan dikemudian hari. Dengan alasan menghalangi hoax yang beredar dan untuk mendinginkan sebuah suasana yang panas, preseden ini bisa bila tidak digunakan dengan cermat akan menimbulkan permasalahan dalam kebebasan mengungkapkan pendapat. Kebebasan mengungkapkan pendapat inilah yang menjadi salah satu faktor dalam negara berdemokrasi.

Sebuah keputusan pisau bermata dua ini layaknya selalu dijadikan kajian oleh semua pihak dalam negara berdemokrasi untuk lebih dewasa untuk menggunakan akses internet. Edukasi penggunaan akses internet pada setiap individu sangat diperlukan di jaman ini. Bagaimana halnya sebuah akses pada internet tidak hanya memberikan individu untuk mendapatkan sebuah informasi dengan cepat tapi juga bagaimana akses pada internet ini bisa digunakan dengan kedewasaan yang lebih dalam berdemokrasi. Tidak hanya bagi individu yang menggunakan namun pula bagi individu yang melalui demokrasi pula dipilih untuk mewakili mereka dalam menjalankan negara demokrasi ini.


 Pembatasan akses pada internet berdampak cepat dalam menangani arus hoax yang merajalela tapi edukasi terhadap akses internet di semua lini masa mempunyai dampak yang lebih luas walau membutuhkan usaha yang konsisten dan waktu yang tidak sebentar.

Comments

Popular posts from this blog

VIRUS CORONA, KETAKUTAN DAN STATUS SOSIAL

CARA ORANG GILA MENGGUNAKAN KEMAJUAN DUNIA DIGITAL EKONOMI

RAMUAN MENGHADAPI PANDEMI