BIAYA PENDIDIKAN DI TENGAH PANDEMI UNTUK SIAPA?

sumber: pixabay (Sasin Tipchai)




Semenjak pandemi Covid-19 ini masuk ke Indonesia, praktis kegiatan belajar mengajar perlahan tersendat. Di DKI Jakarta sendiri sebagai ibu kota, kegiatan belajar mengajar untuk tingkat sekolah resmi tersendat sedari bulan Maret. Kegiatan belajar mengajar tidak lagi dilakukan di sekolah. Sedangkan kegiatan perkuliahan di Universitas perlahan "merumahkan" mahasiswa secara berkala.

Keputusan untuk mengubah sistem belajar mengajar ini memang dinilai tepat. Cepatnya gejolak penyebaran virus Covid-19 ini memang tidak bisa lagi dianggap remeh, makanya ketika anak-anak sekolah dan para mahasiswa mulai berganti mengejar pendidikan dari rumah, keputusan ini diharap bisa menekan penyebaran virus. Setidaknya itu sih harapanya.

Tapi kemudian selama kurang lebih selama 3 bulan sistem pendidikan kita berubah, masalah mulai muncul. Bukan cuma nyatanya pergantian sistem belajar online ini menunjukkan bahwa selama ini banyak di tengah kita tidak siap dengan perkembangan teknologi, baik guru/dosen maupun murid/mahasiswa. Tapi juga menunjukkan apa saja fasilitas penunjang dalam dunia pendidikan yang memang kita butuhkan.


Bayangkan saja selama praktik proses belajar mengajar berubah menjadi sistem online, kini yang dibutuhkan untuk mempertemukan hubungan guru/dosen dengan murid/mahasiswa adalah jaringan internet. Kini para murid dan mahasiswa tidak perlu lagi pergi ke sekolah atau kampus untuk menempuh pendidikan. Rasa-rasanya sistem pendidikan dan perkuliahan saat ini sudah lebih mirip sistem homeschooling. Yang mana muridnya tidak perlu repot-repot sering ke sekolah untuk belajar. 

Sistem ini kemudian menimbulkan pertanyaan baru. Kalau para murid dana mahasiswa tidak datang ke sekolah dan kampus masihkah biaya pendidikanya di bayarkan penuh?.

Sekolah dan kampus saat ini tidak cuma menawarkan sistem pengajara yang baik namun juga fasilitas pendukung sistem pengajaran yang bergensi. Tiap sekolah dan kampus berlomba-lomba untuk menarik perhatian calon anak didik (dan keluarganya) dengan fasilitas yang mumpuni. Mulai dari perpustakaan, lab komputer, lab science, lapangan olah raga, ruang kelas yang nyaman bahkan hingga kantin. Daya tarik dari segala penunjang sistem pendidikan inilah yang menjadi minat calon anak didik untuk memilih dan menggelontotkan biaya yang tidak sedikit untuk mengenyam pendidikan.

Namun di tengah kondisi seperti saat ini para murid dan mahasiswa tidak lagi bisa menikmati fasilitas-fasilitas tersebut. Jangan untuk datang ke sekolah atau kampus, saat ini mereka harus mengeluarkan harga lebih untuk jaringan internet. Praktisnya memang sistem pendidikan di tengah pandemi ini hanya membutuhkan guru/ dosen dan murid/ mahasiswa (serta internet). 

Lalu bagaimana dengan biaya pendidikanya?.

Sayangnya pendemi Covid-19 ini mulai menjadi “populer” di Indonesia ketika tahun ajaran baru untuk sekolah dan semester di kampus sudah berjalan hampir setengahnya. Beberapa kampus memang sudah memberikan potongan biaya pendidikan bagi mahasiswanya setelah di desak. Selain potongan tersebut beberapa kampus juga memberikan kelonggaran pembayaran, malah beberapa kampus lainya memberikan bantuan pulsa bagi mahasiswanya. 


Bantuan dan kebijakan macam ini memang sangat masuk akal. Di tengah pandemi ini para murid dan mahasiwa tidak bisa menikmati sistem pendidikan dan fasilitas secara penuh. Biaya yang di keluarkan para murid dan mahasiswa tidak lagi di rasa setimpal dengan timbal balik yang di dapatkan. Saat tidak ada lagi kegiatan belajar mengajar secara tatap muka dilakukan, pihak sekolah dan kampus praktisnya telah menghemat anggaran mereka seperti untuk listrik dan kebersihan yang tidak terlalu sering di gunakan. Memang pihak sekolah maupun kampus tetap membutuhkan anggaran untuk perawataan semacam properti, tapi tetap saja anggaran yang dikeluarkan tidak sebanyak biasanya.

Payung hukum kebijakan dari sekolah maupun kampus di tengah pandemi saat ini memang belum ada. Semua memang kembali pada kebijakan sekolah dan kampus untuk memberikan rasa adil dari sistem pendidikan. 



Rabu, 17 Juni 2019

Tulisan lain di Dari Catatan

Comments

  1. Mungkin jawabannya : untuk memastikan institusi pendidikan tersebut bisa tetap hidup dan pada saatnya bisa langsung beroperasi saat pandemi berakhir.

    Pemikiran orangtua adalah karena anak mereka tidak mendapat fasilitas, berarti bayaran sekolah harus dipotong, atau bahkan ditiadakan.

    Pemikiran seperti ini tidak produktif dan justru membahayakan dunia pendidikan.

    Kalau sekolah harus digratiskan, maka semua pegawai di sekolah/universitas harus di-PHK karena sekolah tidak punya dana untuk menggaji. Guru juga harus dirumahkan. Gedung sekolah harus ditutup seluruhnya, tidak bisa ada perawatan.

    Itu efek kalau bayaran tidak masuk.

    Nanti pada saat pandemi usai, sekolah itu tidak siap untuk menerima dan melakukan kegiatan belajar mengajar karena pegawai dan guru sudah diPHK semua. Butuh waktu lama untuk merekrut ulang dan tentunya pada akhirnya akan menghambat kegiatan belajar mengajar juga.

    Tidak bisa segala sesuatu hanya dilihat dari untung dan rugi soal fasilitas, tetapi juga harus dipertimbangkan bahwa bayaran tadi adalah untuk menjaga sistem bisa tetap berjalan dan siap ketika diperlukan

    ReplyDelete
    Replies
    1. ada benarnya memang. memastikan eksistensi sekolah dan para staff nya selama masa pandemi ini memang terbantu dengan biaya pendidikan. memastikan institusi pendidikan tetap hidup selama dan setelah pandemi bagi pihak sekolah dan universitas juga sama dengan memastikan murid atau mahasiswanya juga tetap mendapatkan kualitas pendidikan yang baik.

      tapi memang yang jadi masalah bagi murid/ mahasiswa (serta keluarganya) adalah jaminan kualitas baik dari segi sarana dan pra sarana yang selama ini dijanjikan tidak bisa dipenuhi secara utuh oleh institusi pendidikan terkait.

      mungkin bukan di gratiskan sepenuhnya tapi adanya keringanan dan kompensasi yang di berikan.

      dari obrolan beberapa keluarga yang saya lakukan tentang biaya pendidikan ini, mereka (baik dari kalangan menengah hingga atas) memilih institusi pendidikan berdasarkan kemampuan dan jaminan kualitas pendidikan yang ditawarkan institusi (berdasarkan kemampuan mereka). ketika institusi pendidikan tidak lagi bisa memberikan kualitas pendidikan seperti yang telah di janjikan di awal padahal kemampuan dari murid/ mahasiswa (serta keluarga) telah di penuhi utuh, menurut hemat saya memang harus ada kebijakan yang dilakukan untuk memberikan keadilan bagi kedua pihak.

      terima kasih atas pandangan baru nya.

      Delete
  2. Lembaga pendidikan jadi serba salah dimusim Pandemi apalagi yang swasta

    ReplyDelete
    Replies
    1. semua memang bisa jadi serba salah selama pandemi ini :)

      Delete
  3. Mungkin komentar pak Anton benar juga, uang pendidikan tetap dibayar agar universitas atau sekolah itu bisa tetap jalan. Karena sekolah atau kampus juga ada biaya perawatan. Tapi memang kalo bisa biayanya dipotong sedikit.😊

    ReplyDelete
  4. Yang enak sih memang biayanya dipotong biar bisa dialihkan buat beli pulsa atau paket internet atau bayar token listrik karena belajar online ini. Tapi balik lagi pada kebijakan kampus masing-masing ya.

    Dari pandangan saya, mengajar maupun belajar online ini kurang efektif juga, sih. Cuma kalau benar-benar libur, jangka waktunya terlalu lama.

    ReplyDelete
  5. Dengan rekomendasi belajar online untuk kegiatan belajar mengajar, saya langsung teringat desa desa yang SD nya belum berlistrik di beberapa daerah yang pernah saya kunjungi. Apa kabar mereka ya? Masalah mereka adalah bukan tak memiliki uang untuk membeli kuota atau pulsa. Mungkin yang mereka hadapi lebih fundamental, mereka sama sekali tak bisa belajar jika school from home diberlakukan.

    ReplyDelete
  6. Saya memang agak kontra dengan sistem daring, selain persoalan biaya teman saya harus naik ke puncak bungkit tiap kali mau kirim tugas. Suka sedih jadi angkatan corona belum lagi yang sedang skripsi

    ReplyDelete
  7. Yang salah itu, kalau masing-masing dari kita teriak-teriak protes akan "kerugian" kita, merasa paling dirugikan. Aseeelik. Kondisi demikian itu bikin kemrungsung. Mengapa susah sekali sih kita ini untuk bersikap adem dan membiasakan diri untuk memandang persoalan secara holistik?

    ReplyDelete
  8. Banyak orang yg berada di kondisi sulit selama pandemi ini. Termasuk juga tenaga pengajar n smua karyawan2 d sekolah.. jd wajar kalau tetep bayar uang sekolah. Tp setuju sih, mungkin nilainya ga 100% krna para siswa jg butuh subsidi kuota..
    Semoga aja pandemi ini cepat berlalu yaa..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

CARA ORANG GILA MENGGUNAKAN KEMAJUAN DUNIA DIGITAL EKONOMI

VIRUS CORONA, KETAKUTAN DAN STATUS SOSIAL

HARGA SEBUAH MAAF