LEPAS TANGAN RUU KUHP 2019
Semua orang yang menimba ilmu hukum mengetahui pengetahuan dasar dari hukum pidana ini. Pengetahuan mengenai undang-undang paling mendasar dari seluruh lingkup hukum pidana. Barangkali dengan tepat bisa disebut sebagai ibu dari hukum pidana di Indonesia. Pasalnya undang-undang ini adalah sumber dari segala hukum pidana yang nantinya segala hukum tentang pidana di Indonesia akan mengacu padanya. Disebut ibu karena berkat “ia” undang-undang lain yang akan lahir kemudian yang berhubungan dengan pidana akan melengkapi dan mengkhususkan dirinya terhadap sang ibu. Maaf untuk para bapak, walaupun kalian pula yang berkontribusi pada wanita untuk memberikan keturunan tapi kalian tidak bisa melahirkan.
Mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) atau dalam bahasa Indonesia disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bagi orang awam tidak susah kiranya untuk menebak nebak dari mana asal undang-undang ini. Coba ingat saja dari beberapa negara yang pernah menjajah, mana negara yang paling betah menjajah kita. Atau bila malas berfikir maupun terlupa-lupa akan kumpulan sejarah di sekolah dasar, coba sadari saja embel-embel kata nederland pada nama aslinya.
Ya Belanda yang selama 350 tahun betah berlama-lama menjadi tamu di rumah persinggahannya, malah kemudian menganggap serius basa-basi kesopanan masyarakat Indonesia ketika seorang tamu dipersilahkan masuk sambil mengatakan "anggap saja rumah sendiri". Entah bangsa Belanda saat itu tidak mengerti basa-basi, tidak bisa bercanda atau bangsa kita yang saat itu terlampau sopan pada khalayak asing (sampai sekarang sih sepertinya). Untungnya Belanda yang kemudian saat itu sudah betah sekali "di rumah sendiri" mau paling tidak menyesuaikan hukumnya sedikit saja pada bangsa kita. Itulah yang sampai sekarang kita kenal sebagai KUHP.
KUHP yang kita miliki saat ini sudah berusia sangat tua. Usia tua dan kesadaran akan kebutuhan sosial yang tidak bisa lagi dibendung oleh KUHP saat ini (atau ego diri tentang kesan sang tamu yang masih ada walau sudah merdeka) mendorong bangsa ini untuk membuat atau lebih tepatnya membuat kembali dasar hukum pidana kita.
Namun pagi itu rasa keterkejutan saya muncul ketika membaca salah satu headline berita. Reaksi ini muncul ketika di pagi itu membaca berita online dari detik.com. “RUU KUHP Segera Disahkan, Panja: Kalau Belum Sempurna, Silakan Uji Materi”. Tajuk berita ini yang membuat kekagetan saya muncul pagi itu. Tak mau terburu-buru berspekulasi dan mengambil kesimpulan yang singkat, saya pun kemudian memutuskan untuk membaca isi berita tesebut.
Ternyata reaksi yang saya dapat ketika membaca isi berita tersebut tidak jauh berbeda. Saya sadari membuat sebuah rancangan sebuah undang-undang tidaklah mudah. Perlu dirumuskan dengan sangat cermat supaya nantinya undang-undang yang bersangkutan tidak menjadi cela di masyarakat atau lebih parahnya lagi menjadi undang-undang yang tidak bisa memfasilitasi masyarakatnya untuk mendapatkan keadilan di mata hukum.
Saya sadari pula RUU KUHP telah lama sekali diajukan. Sudah beberapa masa pemerintahan presiden pun belum berhasil untuk meloloskan rancangan undang-undang ini. Pasalnya membuat rancangan undang-undang sang ibu ini akan menjadi tonggak sejarah bagi bangsa ini. Akhirnya kita mempunyai undang-undang tentang dasar hukum pidana yang (niatnya) tanpa bau kolonial. Terbebas dari marwah bangsa lain dan dapat menujukan marwah bangsa sendiri.
Namun menurut saya pernyataan yang dikutip dalam berita tersebut mencederai niat yang ada. "Tapi kalau masih tetap dianggap belum sempurna, masyarakat bisa mengajukan perubahan dengan mekanisme judicial review. Tapi yang penting sekarang kita sahkan dulu. Dengan demikian, kita tidak terombang-ambing lagi antara berbagai pendapat yang berbeda tersebut,". Sesalnya pernyataan jenis ini keluar dari panitia kerja (Panja) RUU KUHP.
Pernyataan ini keluar dari pihak yang seharusnya mengerti benar mengenai hukum. Kesan terburu buru pun ditangkap dalam pernyataan ini. Panja terlihat dalam penyataan ini lebih memilih segera merampungkan rancangan undang-undang yang ada. Dengan alasan supaya tak lagi terombang-ambing dalam berbagai perbedaan pendapat juga memberikan wadah uji materi sebagai jalan keluar dari berbagai pendapat berbeda yang tidak bisa dirumuskan.
Uji materi adalah wadah yang diberikan konstitusi kepada masyarakat untuk menguji peraturan perundangan-undang yang bersangkutan apakah sudah sesuai dengan derajat peraturan yang lebuh tinggi darinya dan apakan peraturan perundang-undangan tersebut telah merugikan atau tidak. Hak ini diberikan konsistusi pada masyarakat melalui UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsistusi. Tepatnya pada pasal 51 yang menyatakan perseorangan, persatuan masyarakat adat, badan hukum dan lembaga negara berhak mengajukan permohonan pada Mahkamah Konsistusi. Namun bukan berarti wadah ini dapat dipakai sebagai solusi dari permasalahan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pembuat undang-undang. Tekanan terhadap umur RUU yang sudah hampir seabad ini memang menjadi tekanan yang serius. Namun lepas tangan terhadap permasalahan ini juga bukan merupakan solusi. Bukan kesempurnaan yang dicari oleh pencari keadilan lewat hukum namun kualitas dari undang-undang yang ada.
Walaupun RUU KUHP ini sudah berumur hampir seabad namun rancangan ini pun sudah lama pula dikelilingi kontroversi. Tidak hanya umur dari rancangan ini tapi juga dari kualitas undang-undang ini. Prioritas dalam menyelesaikan rancangan undang-undang ini memang patut diberikan apresiasi namun sekali lagi yang dibutuhkan oleh masyarakat dan pencari keadilan adalah isi/ kualitasnya yang dapat mengakomodir siapapun di negara ini untuk mencari keadilan. Rencananya tanggal 24 September ini RUU KUHP akan disahkan dalam rapat paripurna. Dengarkan saja suara rakyat tentang kritik akan rancangan ini. Karena ketika sebuah rancangan undang-undang disahkan dan di lempar ke masyarat, rancangan undang-undang akan berubah menjadi undang-undang. Dan undang-undang inilah yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Jangan sampai sebuah undang-undang keburu memakan korban. Karena tidak semua masyarakat mengerti akan wadah uji materi namun semua masyarakat mengerti patuh hukum.
Mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) atau dalam bahasa Indonesia disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bagi orang awam tidak susah kiranya untuk menebak nebak dari mana asal undang-undang ini. Coba ingat saja dari beberapa negara yang pernah menjajah, mana negara yang paling betah menjajah kita. Atau bila malas berfikir maupun terlupa-lupa akan kumpulan sejarah di sekolah dasar, coba sadari saja embel-embel kata nederland pada nama aslinya.
Ya Belanda yang selama 350 tahun betah berlama-lama menjadi tamu di rumah persinggahannya, malah kemudian menganggap serius basa-basi kesopanan masyarakat Indonesia ketika seorang tamu dipersilahkan masuk sambil mengatakan "anggap saja rumah sendiri". Entah bangsa Belanda saat itu tidak mengerti basa-basi, tidak bisa bercanda atau bangsa kita yang saat itu terlampau sopan pada khalayak asing (sampai sekarang sih sepertinya). Untungnya Belanda yang kemudian saat itu sudah betah sekali "di rumah sendiri" mau paling tidak menyesuaikan hukumnya sedikit saja pada bangsa kita. Itulah yang sampai sekarang kita kenal sebagai KUHP.
KUHP yang kita miliki saat ini sudah berusia sangat tua. Usia tua dan kesadaran akan kebutuhan sosial yang tidak bisa lagi dibendung oleh KUHP saat ini (atau ego diri tentang kesan sang tamu yang masih ada walau sudah merdeka) mendorong bangsa ini untuk membuat atau lebih tepatnya membuat kembali dasar hukum pidana kita.
Namun pagi itu rasa keterkejutan saya muncul ketika membaca salah satu headline berita. Reaksi ini muncul ketika di pagi itu membaca berita online dari detik.com. “RUU KUHP Segera Disahkan, Panja: Kalau Belum Sempurna, Silakan Uji Materi”. Tajuk berita ini yang membuat kekagetan saya muncul pagi itu. Tak mau terburu-buru berspekulasi dan mengambil kesimpulan yang singkat, saya pun kemudian memutuskan untuk membaca isi berita tesebut.
Ternyata reaksi yang saya dapat ketika membaca isi berita tersebut tidak jauh berbeda. Saya sadari membuat sebuah rancangan sebuah undang-undang tidaklah mudah. Perlu dirumuskan dengan sangat cermat supaya nantinya undang-undang yang bersangkutan tidak menjadi cela di masyarakat atau lebih parahnya lagi menjadi undang-undang yang tidak bisa memfasilitasi masyarakatnya untuk mendapatkan keadilan di mata hukum.
Saya sadari pula RUU KUHP telah lama sekali diajukan. Sudah beberapa masa pemerintahan presiden pun belum berhasil untuk meloloskan rancangan undang-undang ini. Pasalnya membuat rancangan undang-undang sang ibu ini akan menjadi tonggak sejarah bagi bangsa ini. Akhirnya kita mempunyai undang-undang tentang dasar hukum pidana yang (niatnya) tanpa bau kolonial. Terbebas dari marwah bangsa lain dan dapat menujukan marwah bangsa sendiri.
Namun menurut saya pernyataan yang dikutip dalam berita tersebut mencederai niat yang ada. "Tapi kalau masih tetap dianggap belum sempurna, masyarakat bisa mengajukan perubahan dengan mekanisme judicial review. Tapi yang penting sekarang kita sahkan dulu. Dengan demikian, kita tidak terombang-ambing lagi antara berbagai pendapat yang berbeda tersebut,". Sesalnya pernyataan jenis ini keluar dari panitia kerja (Panja) RUU KUHP.
Pernyataan ini keluar dari pihak yang seharusnya mengerti benar mengenai hukum. Kesan terburu buru pun ditangkap dalam pernyataan ini. Panja terlihat dalam penyataan ini lebih memilih segera merampungkan rancangan undang-undang yang ada. Dengan alasan supaya tak lagi terombang-ambing dalam berbagai perbedaan pendapat juga memberikan wadah uji materi sebagai jalan keluar dari berbagai pendapat berbeda yang tidak bisa dirumuskan.
Uji materi adalah wadah yang diberikan konstitusi kepada masyarakat untuk menguji peraturan perundangan-undang yang bersangkutan apakah sudah sesuai dengan derajat peraturan yang lebuh tinggi darinya dan apakan peraturan perundang-undangan tersebut telah merugikan atau tidak. Hak ini diberikan konsistusi pada masyarakat melalui UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konsistusi. Tepatnya pada pasal 51 yang menyatakan perseorangan, persatuan masyarakat adat, badan hukum dan lembaga negara berhak mengajukan permohonan pada Mahkamah Konsistusi. Namun bukan berarti wadah ini dapat dipakai sebagai solusi dari permasalahan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pembuat undang-undang. Tekanan terhadap umur RUU yang sudah hampir seabad ini memang menjadi tekanan yang serius. Namun lepas tangan terhadap permasalahan ini juga bukan merupakan solusi. Bukan kesempurnaan yang dicari oleh pencari keadilan lewat hukum namun kualitas dari undang-undang yang ada.
Walaupun RUU KUHP ini sudah berumur hampir seabad namun rancangan ini pun sudah lama pula dikelilingi kontroversi. Tidak hanya umur dari rancangan ini tapi juga dari kualitas undang-undang ini. Prioritas dalam menyelesaikan rancangan undang-undang ini memang patut diberikan apresiasi namun sekali lagi yang dibutuhkan oleh masyarakat dan pencari keadilan adalah isi/ kualitasnya yang dapat mengakomodir siapapun di negara ini untuk mencari keadilan. Rencananya tanggal 24 September ini RUU KUHP akan disahkan dalam rapat paripurna. Dengarkan saja suara rakyat tentang kritik akan rancangan ini. Karena ketika sebuah rancangan undang-undang disahkan dan di lempar ke masyarat, rancangan undang-undang akan berubah menjadi undang-undang. Dan undang-undang inilah yang harus dipatuhi oleh masyarakat. Jangan sampai sebuah undang-undang keburu memakan korban. Karena tidak semua masyarakat mengerti akan wadah uji materi namun semua masyarakat mengerti patuh hukum.
Baca juga : ASUMSI RICUHNYA (R)UU KUHP
Comments
Post a Comment